Sebuah thread (cuitan bersambung di Twitter) yang dimulai oleh netizen bernama Robbie @thenampale menuai pro kontra di kalangan netizen. Robbie menyorot maraknya anjungan untuk berfoto di Bali yang bertemakan bangunan luar negeri. Seperti kincir angin ala Desa Kinderdijk, Belanda atau deretan Torii ala Fushimi Inari, Kyoto.
"Semakin ke sini semakin banyak ruang-ruang publik di Bali memunculkan ikon ikon yang jauh dari Identitas Bali, asumsi gue seh ini tujuannya IG feed's purposes, tapi ini gejala buruk buat edukasi dan penghargaan atas budaya orang-orang sebelum kita," tulis Robbie di akun Twitternya.
Twittnya ini di retweet lebih dari 10.000 kali dan disukai lebih dari 8.000 penggunan Twitter lain.
Semakin kesini semakin banyak ruang2 publik diBali memunculkan ikon2 yg jauh dari identitas Bali, asumsi gue seh ini tujuannya IG feed's purposes, tp ini gejala buruk buat edukasi dan penghargaan atas budaya org2 sebelum kita. pic.twitter.com/RX8xOEaPVp
Robbie (@thenampale) June 19, 2019
Robbie menyebutkan dengan banyaknya anjungan foto ala luar negeri akan membuat Bali sulit dibedakan dengan banyak taman dari kota di luar Bali. Ia juga mengatakan sebenarnya tak apa dengan anjungan foto bertema luar negeri, tetapi akan lebih baik jika digabung dalam satu taman bermain bertema khusus.
"Benar kata teman gue Mas Kholik, Bali belakangan selain haus like juga kelihatan ga pede. Padahal ini cultural destinastion kekawan, budaya Bali ini yang bikin orang ngiler datang kemari. Jangan krane banyak demand dan ngelihat selebgram posting lagi maenan ayunan dapat 10k like langsung ramai-ramai bikin ayunan dimana-mana," tulis Robbie.
Robbie juga mengungkapkan kegelisahannya lantaran media online yang justru mempromosikan wisata anjungan foto alih alih mengedukasi.
"Di mata gue ini seh sabotase dan secara sadar kita ngereduksi produk budaya kita cuma demi tujuan pendek doang," tulis Robbie.
Padhal ia menjelaskan di kota kota besar luar negeri, budaya lokal dijunjung tinggi dengan merawat hasil dan nilai budaya.
Karangasem rasa Jepang #tamanjinjaBali # karangasem
"Sangat berharap kesadaran seperti ini tumbuh justru dari agent of change anak-anak muda yang ga berhenti cari tahu sejarah pulau dan produk budayanya. Ayoklah biar Bali ga setback kayak banyak kota di luar sono yang udah terlanjur katrok," tulis Robbie.
Banyak netizen yang mendukung pernyataan Robbie contohnya Gusti Elang Raya @gustiarya_ yang menulis, "This is so typical Indonesian. Maksa menjadi sesuatu yang bukan dirinya. Krisis identitas. Di Industri agraris pun seperti itu sampai kita terus impor bahan-bahan yang bisa diproduksi sendiri."
Ada juga @danisahman yang menulis, "Sama halnya dengan saat trip Kuningan, Majalengka, juga di Jogja! Dikasih instalasi yang mirip cuma buat Instagram feeds ego, kemudian tulisan-tulisan menyebalkan. Hilang semua kesan otentik dan alaminya,"
Komentar menarik dilontarkan oleh akun @DewaDewadwipa28 BA-LI (Banyak-Liburan). Ia menanggapi tidak semua wilayah di Bali dianugrahi alam seperti Ubud, pantai seperti Kuta dan Seminyak.
Baginya wajar ketika desa adat atau banjar di Bali membuat ikon-ikon baru sebagai alternatif obyek wisata, dan kreativitas mereka yang patut dilihat.
"Jika budaya kita tereduksi harusnya sudah dari jauh jauh hari bli, gak usah khawatir lah. Selama masih ada desa adat di Bali, budaya kota yang adiluhung akan selalu ajeg (kokoh). Ini murni bsinis dan bisa dilihat wisatawan yang datang kebanyakan lokal.
Ada banyak cara untuk ajegakan budaya Bali, ruh budaya sebenarnya dari masyarakat Bali sendiri, kita tanamkan dari kecil anak-anak kita belajar budaya Bali. Itu jauh lebih bagus dari sekedar bangunan budaya, karena bangunan budaya bisa hancur oleh zaman," tulis @DewaDewadwipa28.
No comments:
Post a Comment