Sunday, July 7, 2019

Belajar Kaligrafi Jepang di Asakusa


saya bersama lima kawan terhenti di sudut kawasan sibuk Asakusa, Tokyo, yang menjadi lalu lalang turis asing dan warga Jepang.

Sinar mentari menusuk tajam dibarengi semilir angin dingin pada awal Juni 2017 tak membuat lelah. Padahal, kami melintasi jalan-jalan kawasan Asakusa dengan berbagai ornamen khas Jepang yang mencuri banyak perhatian untuk diabadikan.

Ditemani Kanae, perempuan Jepang nan sabar sebagai pemandu wisata, kami pun memasuki sebuah rumah kecil di deretan sejumlah pertokoan. Pintu rumah itu tertulis Jidaiya.

Seorang perempuan Jepang bernama Aska dengan penampilan gaun Yukata menyambut kami dalam bahasa Inggris untuk masuk ke ruangannya.

Rumah apa ini? Ukuran ruang yang sempit memang hanya muat untuk jumlah orang terbatas. Aska (25 tahunan) segera menunjukkan salah satu program kursus singkat budaya Jepang. Sebuah pengalaman menarik mengenal bahasa kanji dalam kursus kilat kaligrafi Jepang.

Aska siap mengajari kami. Deretan meja kecil ditata memutar menghadap meja kecil tempat Aska. Di atas meja tersebut sudah terdapat seperangkat alat, mulai dari batu tulis hitam, air yang dikemas dalam kotak kecil porselen, serta dua kuas tinta China ukuran besar dan kecil. Lalu, gulungan kertas khusus menulis bahasa kanji.

Awalnya, mempersiapkan cairan tinta. Batu tulis digosok-gosok perlahan di sebuah kotak khusus. Lalu, beberapa tetes air dicampurkan dengan menggunakan kuas ukuran besar.

Serapan tinta ke dalam benang-benang kuas perlu dikurangi dengan mengoles-oleskan dan agak sedikit ditekan sehingga tidak akan membuat goresan di kertas menjadi sangat tebal dan basah.

Sebagai latihan awal, tiga goresan lurus horizontal dan ditutup mengikuti ujung lembut kuas yang langsung diangkat ke atas. Selanjutnya, garis vertikal dari atas ke bawah. Juga, belajar membuat titik dengan sedikit menekan kuasnya.

Berulang kali, Aska tersenyum melihat satu per satu goresan hasil latihan kami. Tak pernah disalahkan. Hanya sedikit diberitahukan agar lebih hati-hati menggoreskan ataupun memperhatikan kekentalan tinta yang terserap di kuas.

Langkah selanjutnya, ada deretan kata-kata bijak berhuruf kanji yang bisa dipilih, misalnya shinra (kebenaran), shinrai (percaya), taishi (ambisi), ai (cinta), kibou (harapan), shiawase (kebahagiaan), yume (impian), dan masih banyak lagi. Lagi-lagi, latihan menulis pun diajarkan alur goresannya secara berurutan.

Dan... tibalah dibagikan sebuah kertas karton dupleks keras bergaris emas di bagian tepinya. Inilah latihan terakhir mewujudkan goresan-goresan tulisan itu. Bikin deg-degan. Rasanya mudah, tetapi ternyata hasilnya memang menjadi sebuah pengalaman personal yang bisa dibawa pulang sebagai kenangan.

Program mengenal kebudayaan Jepang di tempat itu memang tergolong unik. Tidak hanya kaligrafi yang harganya 5.400 yen (Rp 648.000) per orang, tetapi ada juga belajar seremoni minum teh 3.240 yen, mengenakan kimono 4.320 yen, bernostalgia kostum dan sesi foto 7.500 yen, membuat lampion kertas orisinal Jepang atau Andon Chochin 5.400 yen, menunggang becak Jepang 3.240 yen atau belajar menjadi pengemudi becak Jepang (rickshow) secara kelompok 32.400 yen, ada juga becak Jepang lainnya yang disebut palanquin 32.400 yen, main alat musik Jepang (shamisen) 5.400 yen (biasanya perlu dua orang) dan fan throwing games 3.240 yen.

Melestarikan kebudayaan sebagai kekhasan masih memiliki nilai jual tersendiri. Banyak wisatawan pun tak ingin hanya dapat menikmati kekayaan alamnya, tetapi budaya literasi yang kerap menjadi daya tarik tersendiri.

No comments:

Post a Comment