Di balik keindahan alam Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) terdapat kerajinan anyaman yang sudah turun temurun digeluti. Kini hasil karya masyarakat itu semakin dikenal dunia lewat berbagai ajang internasional hingga pejualan ekspor.
Salah satu ciri khas kerajinan anyaman daerah ini, menggunakan pucuk daun lontar yang baru berusia tiga bulan. Daun tersebut menghasilkan warna kuning muda dengan permukaan yang halus tetapi kuat.
Belum lama ini, pesta olahraga terbesar se-Asia, Asian Games 2018 memesan karya anyaman tersebut sebagai official merchandise. Tidak tanggung-tanggung, pesanannya jadi yang paling besar sepanjang sejarah produksinya, sebanyak 16.300 unit dalam waktu dua minggu.
Sebelumnya, pada April 2018, karya anyaman Flores itu juga dipamerkan dalam ajang Salone Del Mobile di Milan, Italia. Salah satu yang dipamerkan ialah keranjang anyaman tiga dimensi asal Flores yang hampir punah.
Di balik kerajinan daerah yang kian mendunia tersebut, para pengerajin anyaman Flores tergabung dalam komunitas Du'Anyam.Nama DuAnyam berasal dari bahasa daerah Flores, yaitu Dua yang berarti Ibu dan Anyam yang dapat diartikan sebagai Ibu Anyam.
Saat ini DuAnyam telah berhasil memberdayakan lebih dari 500 wanita asal Flores dalam melestarikan kerajinan tangan anyaman.
KompasTravelberkesempatan melihat proses pembuatan anyaman-anyaman tersebut, sekaligus belajar membuatnya, langsung dari tangan-tangan terampil wanita Flores, NTT, dalam acara DBS Daily Kindness Trip, Jumat (12/10/2018).
Lokasi yang kami kunjungi ialah Desa Wulublolong, Pulau Solor, Flores Timur, NTT. Di pulau ini, terdpat rumah anyam Du'Anyam yang mengkordinir 12 desa, untuk memproduksi karya anyaman.
Perjalanan panjang pun harus ditempuh, KompasTravel menyeberang lewat Pelabuhan Larantuka ke Pulau Solor, dengan kapal motor besar. Lalu dilanjut dengan mobil bak tertutup yang jadi kendaraan umum di pulau itu.
Kondisi Pulau Solor masih lengang dari bangunan, dari desa ke desa jaraknya cukup jauh. Untuk mencapai Wulublolong, butuh waktu sekitar satu jam setengah, dengan medan jalan cukup terjal di pinggir pulau.
Sampailah di Desa Wulublolong, kedatangan kami disambut hangat mamak-mamak pengayam dengan kostum tenun yang cantik. Mereka menampilkan tarian selamat datang, dengan instrumen musik alakadarnya.
Dalam rumah anyam sederhana itu, wisatawan tidak hanya diajari proses produksi. Namun juga dapat mengenal lebih jauh perjalanan anyaman Flores, dari terasing, hingga dikenal dunia. Tentu mamak-mamak di sana dengan senang hati menceritakan berbagai pengalamannya pada wisatawan.
" Anyaman di sana kan sudah turun-temurun, kalau diolah dirapihkan lagi bisa jadi produk khas yang bernilai tinggi, bahkan lebih dari suvenir atau oleh-oleh Flores Timur," tutur Hanna Keraf, salah satu founderDu'Anyam yang ikut mengantar wisatawan dalam trip itu.
Du'Anyam lahir sejak tahun 2014, dimulai dengan mencari desa-desa yang terdampak kekurangan gizi, tetapi berpotensi membuat anyaman. Diantaranya Desa Duntana, Kecamatan Titehena, dan Desa Wulublolong, Solor Timur, Flores Timur, NTT.
"Sekarang ibu-ibu punya penghasilan lebih, bisa ditabung untuk pendidikan anak, untuk beli sesuatu," tutur Marni, Ketua Rumah Anyam tersebut kepada KompasTravel.
Proses produksi pun dimulai, wisatawan bisa mengikuti mulai tahap panen pucuk daun lontar yang baru berusia tiga bulan. Daun kuning ini diambil dari pohon lontar dengan ketinggian lima hingga 20 meter.
Setelah itu, masuk taham penyuiran. Kali ini wisatawan bisa ikut mencoba, menyuir, memisahkan daun dengan tulangnya, dalam beberapa ukuran, sesuai keperluan anyaman.
No comments:
Post a Comment